Islam Dan Teologi Pembebasan Afrizal Alumnus Islamic of Philosophy Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Agama dan pembebasan seperti dua sisi yang berbeda dari satu mata uang. Agama adalah pembebasan itu sendiri, dan para nabi merupakan pembaharu sejati. Menurut Ziaul Haque, sesuai dengan yang disebutkan Alquran, ada tiga tujuan diutusnya para nabi yaitu untuk menyatakan kebenaran, berperang melawan kepalsuan dan penindasan, serta membangun sebuah komunitas berdasarkan kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan, dan kasih sayang. Sejalan dengan tujuan diutusnya para nabi tersebut, maka bisa dikemukakan paling tidak ada tiga objek pembebasan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Pertama, pembebasan dari khurafat-khurafat dan tahayul yang menghalangi kejujuran pemikiran. Kedua, pembebasan ekonomi, sosial, dan politik. Ketiga, pembebasan manusia dari diskriminasi dan tindakan dehumanisasi. Hal tersebut menurut saya menunjukkan bahwa Muhammad SAW pada masa itu, datang untuk membebaskan masyarakat dari penderitaan, tahayul, penindasan, perbudakan, dan ketidakadilan. Pembebasan dilakukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia serta memberikan kebebasan berpikir dan berbuat. Dengan begitu ia tidak hanya memberikan inspirasi kepada kaum tertindas, miskin, dan para budak untuk membebaskan diri mereka, namun juga mendorong kreativitas dan perbuatan yang mempunyai tujuan yang jelas. Sehingga yang pertama kali mengapresiasi kehadirannya adalah mereka yang tertindas, dan hanya sedikit dari kalangan bangsawan yang merespons positif kehadirannya kecuali sebagian yang mempunyai kesadaran kritis dan kepedulian terhadap rakyat yang tertindas. Sebagaimana diketahui, persoalan-persoalan teologis yang muncul dalam perdebatan teologi-teologi klasik, lahir dalam konteks ketika sistem kepercayaan Islam mendapat tantangan dari berbagai pengaruh kepercayaan dan pemikiran budaya lama seperti Kristen, Yahudi, serta Yunani. Karena itu, penyusunan suatu kerangka konseptual untuk mempertahankan doktrin Islam merupakan keniscayaan. Persoalan-persoalan yang dibahas dan diperdebatkan dalam teologi-teologi klasik pun menjadi lebih bersifat metafisik dan menyangkut hal-hal yang abstrak, ketimbang pembebasan manusia itu sendiri. Sehingga realitas, yakni realitas historis masyarakat, terabaikan dalam teologi-teologi klasik. Akibatnya, teologi secara sosiologis menjadi mandul, tidak berbicara mengenai problem-problem kehidupan sosial masyarakat pada masa itu dan karenanya tidak dapat bermanfaat bagi tujuan-tujuan kemanusiaan sebagaimana pada masa nabi. Di sinilah tampaknya relevansi apa yang dikatakan oleh Asghar Ali Engineer dalam bukunya 'On Developing Liberation Theology' bahwa teologi hanya bisa bermanfaat bagi tujuan-tujuan kemanusiaan bila teologi itu berangkat dari kondisi kemanusiaan itu sendiri. Dan proyek Illahiyah yang ingin dicapai teologi di bumi membangun idealitas-idealitas tertinggi yang dipahami oleh dan untuk manusia. Melawan penindasan Oleh karena itu, teologi pembebasan tidak hanya membatasi diri dalam wilayah pemikiran spekulatif (rasional-intelektual) semata, tapi melebar menjadi instrumen untuk membebaskan manusia dari segala penindasan dan eksploitasi. Teologi pembebasan memberikan inspirasi kepada kaum tertindas untuk berjuang melawan segala penindasan dan eksploitasi demi tercapainya transformasi masyarakat dari 'apa yang ada' menuju 'apa yang seharusnya'. Jadi, teologi pembebasan lebih memungkinkan kita untuk mengubah kondisi-kondisi yang ada agar menjadi lebih baik dan menstransformasikan dunia, ketimbang harus bersabar dalam penindasan dan eksploitasi. Sabar, dalam teologi pembebasan adalah sabar yang aktif dalam berjuang melawan penindasan. Agama hadir untuk manusia, dalam artian untuk memperbaiki keadaan manusia. Untuk itu, sesuai cara kerja teologi pembebasan, agama harus dipahami dari kondisi historis manusia itu sendiri. Seorang bijak berkata, "Barangsiapa mengetahui dirinya, maka dia mengetahui Tuhannya." Pemahaman yang mendalam dan kritis ('arafa) terhadap 'apa yang ada' (diri) akan menyampaikan orang pada pengetahuan 'apa yang seharusnya' (realitas yang diinginkan; kesempurnaan; rabb). Pengetahuan ini kemudian akan mendorong seseorang pada posisi 'kesangsian ideologis' terhadap superstruktur (teologi yang mapan). 'Kesangsian' itu tidak lantas disikapi dengan menegasikan superstruktur secara mutlak, akan tetapi mendorong pada posisi 'kesangsian eksegetis', yakni keraguan bahwa interpretasi kitab suci (Alquran dan sunnah) yang ada telah mengikutsertakan data yang penting untuk mencapai 'apa yang seharusnya'. Dari 'kesangsian' ini kemudian muncul penafsiran-penafisran baru terhadap ajaran agama untuk mencapai 'apa yang seharusnya' tersebut. Penafsiran baru tersebut dimaksudkan perwujudannya pada realitas yang diamali. Pembebasan teologi saat ini adalah syarat untuk mengembangkan teologi pembebasan. Pembebasan teologi ini akan bisa mengantarkan kita untuk memberikan makna baru terhadap konsep-konsep teologis yang sudah ada. Di antaranya tentang konsep jihad yang menjadi incaran setiap ilmuwan di dunia ketiga ini. Artinya, dalam pandangan saya jihad harus dipahami sebagai perjuangan melawan segala penindasan, eksploitasi, arogansi kekuasaan, diskriminasi dan berbagai kezaliman lainnya. Rekonstruksi koseptual terhadap ajaran Islam sudah semestinya dilakukan dan dipahami oleh seluruh pemeluknya yang pada dasarnya merupakan sebuah usaha untuk mencapai 'apa yang seharusnya'. Dengan begitu ketika rekonstruksi ini dilakukan untuk membebaskan diri dari segala bentuk ketertindasan, kezaliman, dan keterbelakangan, maka dalam sudut pandang tertentu kita sudah berusaha untuk menghilangkan bipolaritas spiritual-material dalam teologi Islam, yang merupakan ciri utama teologi pembebasan itu sendiri. Semoga! ( ) |
Minggu, 06 Desember 2009
Islam Dan Teologi Pembebasan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar