ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN
Sejarah dan Perkembangan Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama untuk membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia dari berbagai macam dosa sosial, serta menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial agi manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan idiologi dari perbuatan mansuai sendiri (Wahono, 2000 : I ). Perkembangan Teologi Pembebasan di Eropa lebih pada pemikiran, sedangka di Amerika Latin dan Asia pada pemikiran ke gerakan untuk melawan hegemoni kekuasaan yang otoriter. Teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan bagian dari gerakan para agamawan melawan hegemoni kekuasaan negara totaliter.
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan (Lowy, 1999 : 27).
Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui , dengan menyertakan di dalamnya suatu doktri keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap erjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis..
Kehadiran Teologi Pembebasan pada awalnya adalah untuk mengkritisi “pembangunan” yang dilakukan negara terhadap rakyatnya. Pembangunan yang dilakukan oleh negara yang didukung oleh institusi kuat seperti militer dan isntitusi agama yang semata meligitimasi kepentingan negara.
Perkembangan teologi pembebasan di Indonesia sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh faktor negara yang represif dan kuat. Teologi Pembebasan yang dilakukan di Amerika Latin telah menunjukkan keberhasilan dalam memperjuangkan hak keadilan bagi masyarakat kecil. Pertarungan antar negara, istitusi agama dengan elit agama di luar institusi, dan rakyat yang tertindas menyatu mendapat kemenangan dan meruntuhkan rezim yang kuat.
Visi Pembebasan Islam
Unsur-unsur pembebasan dalam Islam dapat dilacak kembali sampai pada Nabi sendiri dan pengalamannya. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya tergantung pada pendapatan mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavan-karavan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup (Q.S. 81 : 8-9). Ada banyak budak, para janda dan anak yatim diabakan. Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun bangsawan. Ia diutus oleh Allah untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia dipaksa oleh kaumnya melarikan diri dari Mekkah ketika pesannya yang membebaskan ditolak
Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari kerajaan Romawi dan Sasania yang menindas (Engineer, 1990 : 28-30). Dari praksis inilah tradisi pembebasan Islam muncul.
Muhammad (570 – 632 Masehi), yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji, adalah nabi terakhir dan merupakan revolusioner pertama di zaman modern ini. Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.(Haque, 2000 : 216)
Nabi Muhammad mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti sumber air, tambang-tambang, kebun buah-buahan dan lain-lain, yang kepadanya masyarakat menggantungkan hidup dan kebutuhan-kebutuhan dasar.
Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad Saw., dengan ajaran-ajaranya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang dulunya adalah seorang budak. Mereka diantaranya adalah Bilal, Syu’aib, salman, Zaid bin Haritsah, Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Ammar bin Yassir. (Ibid : 226)
Konsepsi teologis tentang tauhid sesungguhnya adalah konsepsi tentang prinsip-prinsip atau nilai-nilai luhur yang menjaga kehidupan manusia di muka bumi ini; kebenaran, kasih sayang, ketulusan, kebaikan, kesetaraan, dan persaudaran manusia (Ibid : 39). Muhammad pembawa risalah dalam riwayat hisorisnya mempersembahkan hidupnya untuk menyatakan kebenaran dan membangun sebuah tatanan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur tadi.
Nabi berjuang melawan kekuatan-kekuatan tersebut, yaitu kekuatan-kekuatan yang memecah belah umat manusia ke dalam faksi-faksi, kelas-kelas dan kelompok-kelompok yang saling bertikai, dimana kelas yang satu menindas kelas yang lain. Mereka bergelut melawan diskriminasi kelas, ketidakdilan, tirani, dan penindasan.
Nabi Muhammad berjuang dengan gigih dan gagah berani membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Mereka mengangkat harkat manusia dari jurang tahayul, kelemahan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi dan nafsu kebendaan (Ibid : 45)
Nabi-nabi sebelum Muhammad seperti Musa, Isa, Ibrahim dan yang lainnya, adalah pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman pada lingkungan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa tujuan perjuangan mereka adalah menghapuskan penindasan (zulm) dalam segala bentuknya :
“Sebelum mereka kami sudah mengutus orang-orang yang kami beri wahyu. Tanyakanlah kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak tahu. Kami tidak memberikan tubuh kepada mereka yang tidak memakan makanan, dan mereka tidak pernah hidup kekal. Kemudian Kami penuhi janji kami dan Kami selamatkan mereka dan siapapun yang Kami sukai; tetapi Kami binasakan mereka yang sudah melampui batas. Kami telah mewahyukan kepadamu (hai manusia !) sebuah kitab yang bersi pelajaran bagimu; tidaklah kamu mengerti ? Dan sudah ebrapa banyak penduduk yang Kami hancurkan karena perbuatan mereka yang sewenang-wenang, dan Kami adakan sesudah mereka kaum yang lain ! Setelah mereka merasakan azab dari Kami, ternyata mereka lari menghindarinya. Jangankan kamu lari, tetapi kembalilah kepada kesenanganmu, dan tempat-tempat tinggalmu, supaya kamu dapat ditanyai. Mereka berkata; “Ah, memang kami dulu berbuat sewenang-wenang!” Memang itulah keluhan mereka selalu, sehingga kami jadikan mereka seperti tanaman habis dituai, padam dan tak dapat hidup lagi.” (Q.S. al-Anbiya’ : 7 – 15)
Secara harfiyah, dzulm berarti memindahkan/meletakkan sesuatu atau seseorang pada tempat yang tidak semestinya, atau mencabut sesuatu atau seseorang dari bagian atau haknya yang semestinya. Jadi dzulm adalah sesuatu disequilibrium (ketidakseimbangan), disharmoni, penghapusan, atau gangguan dalam tatanan alam, harmoni, harmoni atau equilibrium segala sesuatu.
Seorang manusia yang mengingkari kebenaran, menolak kesetaraan sosial atau keadilan adalah seorang dzalim, seorang penindas yang mengingkari nilai-nilai luhur kehidupan manusia yang harmonis dan setara; dia adalah seorang kafir, yang mengingkari kebenaran dan kesetaraan dari Allah. Seorang jahat yang menggunakan kekuatan terbuka untuk membunuh yang lemah, adalah seorang dzalim atau penindas yang mencabut manusia lain dari hak asasinya untuk hidup dan dihormati.
Al-Qu’an mendefinisikan dzalimun, para penindas, adalah orang-orang yang mengingkari Allah (juga kebenaran, keadilan dan kesetaraan) (Q.S al-Baqarah : 254). Mereka adalah “ yang ingkar akan tanda-tanda Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa sebab dan membunuh mereka yang menyuruh orang berbuat adil ..” (Q.S. Ali Imran 21) (Ibid : 45). Al-Qu’an mengumpamakan keadaan para penindas itu seperti panen yang gagal karena dirusak oleh hawa yang membeku :
“Mereka yang kafir, harta dan anak-anak mereka yang sedikitpun tak berguna dalam pandangan Allah. Mereka menghuni api neraka, di sana mereka tinggal selama-lamanya. Perumpamaan segala apa yang mereka nafkahkan dalam hidup di dunia ini seperti angin dingin menimpa tanaman suatu golongan yang menganiaya diri. Bukan Allah yang menganiaya mereka tetapi mereka menganiaya diri sendiri.”( Q.S. Ali Imran : 116 – 117)
Dari Teologi ke Praksis
Banyak sekali pemikir Islam yang begitu membicarakan tentang persinggungan antara Islam dengan pembelaan terhadap rakyat dengan jargon yang dianggap berbau komunistik–seperti rakyat, keadilan, kemiskinan—disalahpahami dan dicurigai. Seorang Hassan Hanafi dituduh macam-macam bahkan dianggap sesat dan kafir, lepas apakah pemikirannya benar ataupun salah.
Tetapi bukankah sejarah Islam mencatat betapa banyaknya kisah tokoh Muslim yang begitu peduli dengan hal-hal yang berbau keadilan, kemiskinan, dan kerakyatan ? Dari awal, Rasulullah sudah mencanangkan kemerdekaan hamba dari yang selain Allah, termasuk anjuran menghapuskan perbudakan. Bahkan beliau, dalam doanya, menyamakan kekufuran dan kefakiran. Khalifah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Khalifah Umar pernah membekukan hukum potong tangan ketika musim paceklik. Khalifah Ali berkata, “seandainya kemiskinan itu adalah seorang makhluk, niscaya sudah kubunuh”.
Seorang Ali Shariati, seorang pengagum dan pengkritik Karl Marx, menyatakan bahwa memang dalam sejarah selalu ada pertarungan dua pihak, Penguasa yang zalim dengan Islam yang membela kaum tertindas. Dalam sejarah, kata Ali, betapa banyak kisah pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustad’afin), seperti kisah Nabi Daud, Musa, dan Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang membungkus agama untuk berlindung dibawah kemapanan kekuasaan yang dzalim, dan Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat menghancurkan kedzaliman dan membela orang kecil. (Syari’ati, 1998 : 45). Dalam sejarah kita, Syarikat Islam terkenal amat dekat dengan rakyat. Isu kerakyatan dan buruh amat kental terasa, misalnya pemogokan dan pemberontakan petani. Bahkan cikal bakal Partai Komunis Indonesia mendompleng menbangun kader dari gerakan ini. Berbagai tarekat juga turut andil dalam pengursiran penjajah.
Di Mesir, Gerakan Ikhwanul Muslimin bergerak di kelas bawah, ke buruh-buruh. Bahkan gerakan fenomenal ini sempat beraliansi dengan Partai Sosialis setempat. Di Indonesia, Masyumi juga sangat erat dengan Partai Sosialis Indonesia. Sayang sekali, jarang ada buku dan tulisan tentang keterkaitan ajaran Islam dengan permasalahan umat kelas bawah ini. Sedikit sekali, misalnya karya Yusuf Qardhawi tentang pengetasan kemiskinan dan zakat sebagai solusinya (Qardlawi, 1998). Atau Sayyid Quthb dengan “Keadilan Sosial dalam Islam”. Selebihnya, sebagian besar hanyalah fiqh ibadah ritual dari wudlu ke haji. Memang fiqh tentang hal-hal itu penting, tetapi Islam tidak hanya berisi hal-hal syariat dan fiqh mahdhah semata.
Ashgar mengingatkan tentang bekal ajaran Islam yang sangat erat dengan Teologi Pembebasan, yaitu Persaudaran Universal, kesetaraan, keadilan sosial. Tidak tanggung-tanggung Asghar mengambil contoh dari Uswah terbaik, Rasulullah ((Q.S. al-Ahzab : 21), (Q.S. al-Qolam : 4), dalam menerapkan Teologi Pembebasan itu dan membebaskan manusia dari penindasan dan penyembahan kepada selain Allah. (Engineer, 1999 : 28)
Wallahu ‘alam bish shawab
DAFTAR PUSTAKA
Ali Syari’ati, 1998, Islam Mazdab Pemikiran dan Aksi, Bandung : Mizan
Asghar Ali Engineer, 1999, Islam dan teologi Pembebasan, Bandung :, Mizan
Asghar Ali Engineer, 1999, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Yusuf Qordlowi, 1998, Risalah Zakat, Jakarta : Risalah Gusti
Michael Amalados, 2001, Teologi Pembebasan Asia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Michael Lowy, 1999, Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ziaul Haque, 2000, Wahyu dan Revolusi, Yogyakarta : LkiS
Wahono Nitiprawiro, 2000, Teologi Pembebasan ; Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta : LKiS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar