Minggu, 06 Desember 2009

MENYAMBUT DAD GELOMBANG 2

MENYAMBUT DAD GELOMBANG 2 (JUMAT-MINGGU, 17-20 DESEMBER 2009)

Rapatkan barisan dan siapkan segenap kekuatan otot dan otakmu untuk menjaga dinamika kaderisasi di Pimpinan Komisariat FKIP Jakarta Timur periode 2009-2010.

Nyatakanlah dengan tulusnya hati bahwa kita tidak sedang melakukan kaderisasi di ruang hampa atau tanpa tujuan, melainkan bahwasanya IMM ini meniscayakan regenerasi atau kekaderan dalam format yang sesuai dengan Tri-Kompetensi Dasar IMM (Religiusitas, Intelektualitas dan Humanitas) sebagai usaha dalam membentuk akademisi islam yang berakhlak mulia yang menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna Persyarikatan serta menjadi kader, persyarikatan, kader ummat dan kader bangsa.

Selamat Berjuang IMMawan dan IMMawati
"Semoga Berkah Rahmat Illahi Melimpahi Perjuangan Kita"


Billahi fii Sabilillhaq, Fastabiqul Khairat

Islam Dan Teologi Pembebasan



Islam Dan Teologi Pembebasan

Afrizal
Alumnus Islamic of Philosophy Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Agama dan pembebasan seperti dua sisi yang berbeda dari satu mata uang. Agama adalah pembebasan itu sendiri, dan para nabi merupakan pembaharu sejati. Menurut Ziaul Haque, sesuai dengan yang disebutkan Alquran, ada tiga tujuan diutusnya para nabi yaitu untuk menyatakan kebenaran, berperang melawan kepalsuan dan penindasan, serta membangun sebuah komunitas berdasarkan kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan, dan kasih sayang.

Sejalan dengan tujuan diutusnya para nabi tersebut, maka bisa dikemukakan paling tidak ada tiga objek pembebasan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Pertama, pembebasan dari khurafat-khurafat dan tahayul yang menghalangi kejujuran pemikiran. Kedua, pembebasan ekonomi, sosial, dan politik. Ketiga, pembebasan manusia dari diskriminasi dan tindakan dehumanisasi.

Hal tersebut menurut saya menunjukkan bahwa Muhammad SAW pada masa itu, datang untuk membebaskan masyarakat dari penderitaan, tahayul, penindasan, perbudakan, dan ketidakadilan. Pembebasan dilakukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia serta memberikan kebebasan berpikir dan berbuat. Dengan begitu ia tidak hanya memberikan inspirasi kepada kaum tertindas, miskin, dan para budak untuk membebaskan diri mereka, namun juga mendorong kreativitas dan perbuatan yang mempunyai tujuan yang jelas. Sehingga yang pertama kali mengapresiasi kehadirannya adalah mereka yang tertindas, dan hanya sedikit dari kalangan bangsawan yang merespons positif kehadirannya kecuali sebagian yang mempunyai kesadaran kritis dan kepedulian terhadap rakyat yang tertindas.

Sebagaimana diketahui, persoalan-persoalan teologis yang muncul dalam perdebatan teologi-teologi klasik, lahir dalam konteks ketika sistem kepercayaan Islam mendapat tantangan dari berbagai pengaruh kepercayaan dan pemikiran budaya lama seperti Kristen, Yahudi, serta Yunani. Karena itu, penyusunan suatu kerangka konseptual untuk mempertahankan doktrin Islam merupakan keniscayaan.

Persoalan-persoalan yang dibahas dan diperdebatkan dalam teologi-teologi klasik pun menjadi lebih bersifat metafisik dan menyangkut hal-hal yang abstrak, ketimbang pembebasan manusia itu sendiri. Sehingga realitas, yakni realitas historis masyarakat, terabaikan dalam teologi-teologi klasik. Akibatnya, teologi secara sosiologis menjadi mandul, tidak berbicara mengenai problem-problem kehidupan sosial masyarakat pada masa itu dan karenanya tidak dapat bermanfaat bagi tujuan-tujuan kemanusiaan sebagaimana pada masa nabi.

Di sinilah tampaknya relevansi apa yang dikatakan oleh Asghar Ali Engineer dalam bukunya 'On Developing Liberation Theology' bahwa teologi hanya bisa bermanfaat bagi tujuan-tujuan kemanusiaan bila teologi itu berangkat dari kondisi kemanusiaan itu sendiri. Dan proyek Illahiyah yang ingin dicapai teologi di bumi membangun idealitas-idealitas tertinggi yang dipahami oleh dan untuk manusia.

Melawan penindasan
Oleh karena itu, teologi pembebasan tidak hanya membatasi diri dalam wilayah pemikiran spekulatif (rasional-intelektual) semata, tapi melebar menjadi instrumen untuk membebaskan manusia dari segala penindasan dan eksploitasi. Teologi pembebasan memberikan inspirasi kepada kaum tertindas untuk berjuang melawan segala penindasan dan eksploitasi demi tercapainya transformasi masyarakat dari 'apa yang ada' menuju 'apa yang seharusnya'.

Jadi, teologi pembebasan lebih memungkinkan kita untuk mengubah kondisi-kondisi yang ada agar menjadi lebih baik dan menstransformasikan dunia, ketimbang harus bersabar dalam penindasan dan eksploitasi. Sabar, dalam teologi pembebasan adalah sabar yang aktif dalam berjuang melawan penindasan.

Agama hadir untuk manusia, dalam artian untuk memperbaiki keadaan manusia. Untuk itu, sesuai cara kerja teologi pembebasan, agama harus dipahami dari kondisi historis manusia itu sendiri. Seorang bijak berkata, "Barangsiapa mengetahui dirinya, maka dia mengetahui Tuhannya." Pemahaman yang mendalam dan kritis ('arafa) terhadap 'apa yang ada' (diri) akan menyampaikan orang pada pengetahuan 'apa yang seharusnya' (realitas yang diinginkan; kesempurnaan; rabb).

Pengetahuan ini kemudian akan mendorong seseorang pada posisi 'kesangsian ideologis' terhadap superstruktur (teologi yang mapan). 'Kesangsian' itu tidak lantas disikapi dengan menegasikan superstruktur secara mutlak, akan tetapi mendorong pada posisi 'kesangsian eksegetis', yakni keraguan bahwa interpretasi kitab suci (Alquran dan sunnah) yang ada telah mengikutsertakan data yang penting untuk mencapai 'apa yang seharusnya'. Dari 'kesangsian' ini kemudian muncul penafsiran-penafisran baru terhadap ajaran agama untuk mencapai 'apa yang seharusnya' tersebut. Penafsiran baru tersebut dimaksudkan perwujudannya pada realitas yang diamali.

Pembebasan teologi saat ini adalah syarat untuk mengembangkan teologi pembebasan. Pembebasan teologi ini akan bisa mengantarkan kita untuk memberikan makna baru terhadap konsep-konsep teologis yang sudah ada. Di antaranya tentang konsep jihad yang menjadi incaran setiap ilmuwan di dunia ketiga ini. Artinya, dalam pandangan saya jihad harus dipahami sebagai perjuangan melawan segala penindasan, eksploitasi, arogansi kekuasaan, diskriminasi dan berbagai kezaliman lainnya.

Rekonstruksi koseptual terhadap ajaran Islam sudah semestinya dilakukan dan dipahami oleh seluruh pemeluknya yang pada dasarnya merupakan sebuah usaha untuk mencapai 'apa yang seharusnya'. Dengan begitu ketika rekonstruksi ini dilakukan untuk membebaskan diri dari segala bentuk ketertindasan, kezaliman, dan keterbelakangan, maka dalam sudut pandang tertentu kita sudah berusaha untuk menghilangkan bipolaritas spiritual-material dalam teologi Islam, yang merupakan ciri utama teologi pembebasan itu sendiri. Semoga!
( )
 

ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN


ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN


Sejarah dan Perkembangan Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama untuk membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia dari berbagai macam dosa sosial, serta menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial agi manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan idiologi dari perbuatan mansuai sendiri (Wahono, 2000 : I ). Perkembangan Teologi Pembebasan di Eropa lebih pada pemikiran, sedangka di Amerika Latin dan Asia pada pemikiran ke gerakan untuk melawan hegemoni kekuasaan yang otoriter. Teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan bagian dari gerakan para agamawan melawan hegemoni kekuasaan negara totaliter.
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan (Lowy, 1999 : 27).
Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui , dengan menyertakan di dalamnya suatu doktri keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap erjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis..
Kehadiran Teologi Pembebasan pada awalnya adalah untuk mengkritisi “pembangunan” yang dilakukan negara terhadap rakyatnya. Pembangunan yang dilakukan oleh negara yang didukung oleh institusi kuat seperti militer dan isntitusi agama yang semata meligitimasi kepentingan negara.
Perkembangan teologi pembebasan di Indonesia sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh faktor negara yang represif dan kuat. Teologi Pembebasan yang dilakukan di Amerika Latin telah menunjukkan keberhasilan dalam memperjuangkan hak keadilan bagi masyarakat kecil. Pertarungan antar negara, istitusi agama dengan elit agama di luar institusi, dan rakyat yang tertindas menyatu mendapat kemenangan dan meruntuhkan rezim yang kuat.

Visi Pembebasan Islam
Unsur-unsur pembebasan dalam Islam dapat dilacak kembali sampai pada Nabi sendiri dan pengalamannya. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya tergantung pada pendapatan mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavan-karavan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup (Q.S. 81 : 8-9). Ada banyak budak, para janda dan anak yatim diabakan. Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun bangsawan. Ia diutus oleh Allah untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia dipaksa oleh kaumnya melarikan diri dari Mekkah ketika pesannya yang membebaskan ditolak
Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari kerajaan Romawi dan Sasania yang menindas (Engineer, 1990 : 28-30). Dari praksis inilah tradisi pembebasan Islam muncul.
Muhammad (570 – 632 Masehi), yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji, adalah nabi terakhir dan merupakan revolusioner pertama di zaman modern ini. Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.(Haque, 2000 : 216)
Nabi Muhammad mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti sumber air, tambang-tambang, kebun buah-buahan dan lain-lain, yang kepadanya masyarakat menggantungkan hidup dan kebutuhan-kebutuhan dasar.
Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad Saw., dengan ajaran-ajaranya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang dulunya adalah seorang budak. Mereka diantaranya adalah Bilal, Syu’aib, salman, Zaid bin Haritsah, Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Ammar bin Yassir. (Ibid : 226)
Konsepsi teologis tentang tauhid sesungguhnya adalah konsepsi tentang prinsip-prinsip atau nilai-nilai luhur yang menjaga kehidupan manusia di muka bumi ini; kebenaran, kasih sayang, ketulusan, kebaikan, kesetaraan, dan persaudaran manusia (Ibid : 39). Muhammad pembawa risalah dalam riwayat hisorisnya mempersembahkan hidupnya untuk menyatakan kebenaran dan membangun sebuah tatanan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur tadi.
Nabi berjuang melawan kekuatan-kekuatan tersebut, yaitu kekuatan-kekuatan yang memecah belah umat manusia ke dalam faksi-faksi, kelas-kelas dan kelompok-kelompok yang saling bertikai, dimana kelas yang satu menindas kelas yang lain. Mereka bergelut melawan diskriminasi kelas, ketidakdilan, tirani, dan penindasan.
Nabi Muhammad berjuang dengan gigih dan gagah berani membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Mereka mengangkat harkat manusia dari jurang tahayul, kelemahan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi dan nafsu kebendaan (Ibid : 45)
Nabi-nabi sebelum Muhammad seperti Musa, Isa, Ibrahim dan yang lainnya, adalah pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman pada lingkungan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa tujuan perjuangan mereka adalah menghapuskan penindasan (zulm) dalam segala bentuknya :

“Sebelum mereka kami sudah mengutus orang-orang yang kami beri wahyu. Tanyakanlah kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak tahu. Kami tidak memberikan tubuh kepada mereka yang tidak memakan makanan, dan mereka tidak pernah hidup kekal. Kemudian Kami penuhi janji kami dan Kami selamatkan mereka dan siapapun yang Kami sukai; tetapi Kami binasakan mereka yang sudah melampui batas. Kami telah mewahyukan kepadamu (hai manusia !) sebuah kitab yang bersi pelajaran bagimu; tidaklah kamu mengerti ? Dan sudah ebrapa banyak penduduk yang Kami hancurkan karena perbuatan mereka yang sewenang-wenang, dan Kami adakan sesudah mereka kaum yang lain ! Setelah mereka merasakan azab dari Kami, ternyata mereka lari menghindarinya. Jangankan kamu lari, tetapi kembalilah kepada kesenanganmu, dan tempat-tempat tinggalmu, supaya kamu dapat ditanyai. Mereka berkata; “Ah, memang kami dulu berbuat sewenang-wenang!” Memang itulah keluhan mereka selalu, sehingga kami jadikan mereka seperti tanaman habis dituai, padam dan tak dapat hidup lagi.” (Q.S. al-Anbiya’ : 7 – 15)

Secara harfiyah, dzulm berarti memindahkan/meletakkan sesuatu atau seseorang pada tempat yang tidak semestinya, atau mencabut sesuatu atau seseorang dari bagian atau haknya yang semestinya. Jadi dzulm adalah sesuatu disequilibrium (ketidakseimbangan), disharmoni, penghapusan, atau gangguan dalam tatanan alam, harmoni, harmoni atau equilibrium segala sesuatu.
Seorang manusia yang mengingkari kebenaran, menolak kesetaraan sosial atau keadilan adalah seorang dzalim, seorang penindas yang mengingkari nilai-nilai luhur kehidupan manusia yang harmonis dan setara; dia adalah seorang kafir, yang mengingkari kebenaran dan kesetaraan dari Allah. Seorang jahat yang menggunakan kekuatan terbuka untuk membunuh yang lemah, adalah seorang dzalim atau penindas yang mencabut manusia lain dari hak asasinya untuk hidup dan dihormati.
Al-Qu’an mendefinisikan dzalimun, para penindas, adalah orang-orang yang mengingkari Allah (juga kebenaran, keadilan dan kesetaraan) (Q.S al-Baqarah : 254). Mereka adalah “ yang ingkar akan tanda-tanda Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa sebab dan membunuh mereka yang menyuruh orang berbuat adil ..” (Q.S. Ali Imran 21) (Ibid : 45). Al-Qu’an mengumpamakan keadaan para penindas itu seperti panen yang gagal karena dirusak oleh hawa yang membeku :
“Mereka yang kafir, harta dan anak-anak mereka yang sedikitpun tak berguna dalam pandangan Allah. Mereka menghuni api neraka, di sana mereka tinggal selama-lamanya. Perumpamaan segala apa yang mereka nafkahkan dalam hidup di dunia ini seperti angin dingin menimpa tanaman suatu golongan yang menganiaya diri. Bukan Allah yang menganiaya mereka tetapi mereka menganiaya diri sendiri.”( Q.S. Ali Imran : 116 – 117)

Dari Teologi ke Praksis

Banyak sekali pemikir Islam yang begitu membicarakan tentang persinggungan antara Islam dengan pembelaan terhadap rakyat dengan jargon yang dianggap berbau komunistik–seperti rakyat, keadilan, kemiskinan—disalahpahami dan dicurigai. Seorang Hassan Hanafi dituduh macam-macam bahkan dianggap sesat dan kafir, lepas apakah pemikirannya benar ataupun salah.
Tetapi bukankah sejarah Islam mencatat betapa banyaknya kisah tokoh Muslim yang begitu peduli dengan hal-hal yang berbau keadilan, kemiskinan, dan kerakyatan ? Dari awal, Rasulullah sudah mencanangkan kemerdekaan hamba dari yang selain Allah, termasuk anjuran menghapuskan perbudakan. Bahkan beliau, dalam doanya, menyamakan kekufuran dan kefakiran. Khalifah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Khalifah Umar pernah membekukan hukum potong tangan ketika musim paceklik. Khalifah Ali berkata, “seandainya kemiskinan itu adalah seorang makhluk, niscaya sudah kubunuh”.
Seorang Ali Shariati, seorang pengagum dan pengkritik Karl Marx, menyatakan bahwa memang dalam sejarah selalu ada pertarungan dua pihak, Penguasa yang zalim dengan Islam yang membela kaum tertindas. Dalam sejarah, kata Ali, betapa banyak kisah pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustad’afin), seperti kisah Nabi Daud, Musa, dan Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang membungkus agama untuk berlindung dibawah kemapanan kekuasaan yang dzalim, dan Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat menghancurkan kedzaliman dan membela orang kecil. (Syari’ati, 1998 : 45). Dalam sejarah kita, Syarikat Islam terkenal amat dekat dengan rakyat. Isu kerakyatan dan buruh amat kental terasa, misalnya pemogokan dan pemberontakan petani. Bahkan cikal bakal Partai Komunis Indonesia mendompleng menbangun kader dari gerakan ini. Berbagai tarekat juga turut andil dalam pengursiran penjajah.
Di Mesir, Gerakan Ikhwanul Muslimin bergerak di kelas bawah, ke buruh-buruh. Bahkan gerakan fenomenal ini sempat beraliansi dengan Partai Sosialis setempat. Di Indonesia, Masyumi juga sangat erat dengan Partai Sosialis Indonesia. Sayang sekali, jarang ada buku dan tulisan tentang keterkaitan ajaran Islam dengan permasalahan umat kelas bawah ini. Sedikit sekali, misalnya karya Yusuf Qardhawi tentang pengetasan kemiskinan dan zakat sebagai solusinya (Qardlawi, 1998). Atau Sayyid Quthb dengan “Keadilan Sosial dalam Islam”. Selebihnya, sebagian besar hanyalah fiqh ibadah ritual dari wudlu ke haji. Memang fiqh tentang hal-hal itu penting, tetapi Islam tidak hanya berisi hal-hal syariat dan fiqh mahdhah semata.
Ashgar mengingatkan tentang bekal ajaran Islam yang sangat erat dengan Teologi Pembebasan, yaitu Persaudaran Universal, kesetaraan, keadilan sosial. Tidak tanggung-tanggung Asghar mengambil contoh dari Uswah terbaik, Rasulullah ((Q.S. al-Ahzab : 21), (Q.S. al-Qolam : 4), dalam menerapkan Teologi Pembebasan itu dan membebaskan manusia dari penindasan dan penyembahan kepada selain Allah. (Engineer, 1999 : 28)

Wallahu ‘alam bish shawab

DAFTAR PUSTAKA


Ali Syari’ati, 1998, Islam Mazdab Pemikiran dan Aksi, Bandung : Mizan

Asghar Ali Engineer, 1999, Islam dan teologi Pembebasan, Bandung :, Mizan

Asghar Ali Engineer, 1999, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Yusuf Qordlowi, 1998, Risalah Zakat, Jakarta : Risalah Gusti

Michael Amalados, 2001, Teologi Pembebasan Asia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Michael Lowy, 1999, Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Ziaul Haque, 2000, Wahyu dan Revolusi, Yogyakarta : LkiS

Wahono Nitiprawiro, 2000, Teologi Pembebasan ; Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta : LKiS

Jumat, 27 November 2009

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Kelahiran IMM tidak lepas kaitannya dengan sejarah perjalanan Muhammadiyah, dan juga bisa dianggap sejalan dengan faktor kelahiran Muhammadiyah itu sendiri. Hal ini berarti bahwa setiap hal yang dilakukan Muhammadiyah merupakan perwujudan dari keinginan Muhammadiyah untuk memenuhi cita-cita sesuai dengan kehendak Muhammadiyah dilahirkan.
Di samping itu, kelahiran IMM juga merupakan respond atas persoalan-persoalan keummatan dalam sejarah bangsa ini pada awal kelahiran IMM, sehingga kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah keha-rusan sejarah. Faktor-faktor problematis dalam persoalan keummatan itu antara lain ialah sebagai berikut (Farid Fathoni, 1990: 102) :
  1. Situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba tunggal, serta adanya ancaman komunisme di Indonesia
  2. Terpecah-belahnya umat Islam dalam bentuk saling curiga dan fitnah, serta kehidupan politik ummat Islam yang semakin buruk
  3. Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan politik praktis
  4. Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya akhlak, dan semakin tumbuhnya materialisme-individualisme
  5. Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya suasana kehidupan kampus yang sekuler
  6. Masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan
  7. Masih banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid'ah, khurafat, bahkan ke-syirik-an, serta semakin meningkatnya misionaris-Kristenisasi
  8. Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk
Dengan latar belakang tersebut, sesungguhnya semangat untuk mewadahi dan membina mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah telah dimulai sejak lama. Semangat tersebut sebenarnya telah tumbuh dengan adanya keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah pada Kongres Seperempat Abad Muhammadiyah di Betawi Jakarta pada tahun 1936. Pada saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah diketuai oleh KH. Hisyam (periode 1934-1937). Keinginan tersebut sangat logis dan realistis, karena keluarga besar Muhammadiyah semakin banyak dengan putera-puterinya yang sedang dalam penyelesaian pendidikan menengahnya. Di samping itu, Muhammadiyah juga sudah banyak memiliki amal usaha pendidikan tingkat menengah.
Gagasan pembinaan kader di lingkungan maha-siswa dalam bentuk penghimpunan dan pembinaan langsung adalah selaras dengan kehendak pendiri Muhammadiyah, KHA. Dahlan, yang berpesan bahwa "dari kalian nanti akan ada yang jadi dokter, meester, insinyur, tetapi kembalilah kepada Muhammadiyah" (Suara Muhammadiyah, nomor 6 tahun ke-68, Maret II 1988, halaman 19). Dengan demikian, sejak awal Muhammadiyah sudah memikirkan bahwa kader-kader muda yang profesional harus memiliki dasar keislaman yang tangguh dengan kembali ke Muhammadiyah.
Namun demikian, gagasan untuk menghimpun dan membina mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah cenderung terabaikan, lantaran Muhammadiyah sendiri belum memiliki perguruan tinggi. Belum mendesaknya pembentukan wadah kader di lingkungan mahasiswa Muhammadiyah saat itu juga karena saat itu jumlah mahasiswa yang ada di lingkungan Muhammadiyah belum terlalu banyak. Dengan demikian, pembinaan kader mahasiswa Muhammadiyah dilakukan melalui wadah Pemuda Muhammadiyah (1932) untuk mahasiswa putera dan melalui Nasyi'atul Aisyiyah (1931) untuk mahasiswa puteri.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 pada tahun 1950 di Yogyakarta, dihembuskan kembali keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah. Namun karena berbagai macam hal, keinginan tersebut belum bisa diwujudkan, sehingga gagasan untuk dapat secara langsung membina dan menghimpun para mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah tidak berhasil. Dengan demikian, keinginan untuk membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga masih jauh dari kenyataan.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, gagasan pendirian perguruan tinggi Muhammadiyah baru bisa direalisasikan. Namun gagasan untuk mewadahi mahasiswa Muhammadiyah dalam satu himpunan belum bisa diwujudkan. Untuk mewadahi pembinaan terhadap mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah membentuk Badan Pendidikan Kader (BPK) yang dalam menjalankan aktivitasnya bekerja sama dengan Pemuda Muhammadiyah.
Gagasan untuk mewadahi mahasiswa dari ka-langan Muhammadiyah dalam satu himpunan setidaknya telah menjadi polemik di lingkungan Muhammadiyah sejak lama. Perdebatan seputar kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berlangsung cukup sengit, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun di kalangan gerakan mahasiswa yang lain. Setidaknya, kelahiran IMM sebagai wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah mendapatkan resistensi, baik dari kalangan Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan gerakan mahasiswa yang lain, terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di kalangan Muhammadiyah sendiri pada awal munculnya gagasan pendirian IMM terdapat anggapan bahwa IMM belum dibutuhkan kehadirannya dalam Muhammadiyah, karena Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah masih dianggap cukup mampu untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah.
Di samping itu, resistensi terhadap ide kelahiran IMM pada awalnya juga disebabkan adanya hubungan dekat yang tidak kentara antara Muhammadiyah dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan dekat itu dapat dilihat ketika Lafrane Pane mau menjajagi pendirian HMI. Dia bertukar pikiran dengan Prof. Abdul Kahar Mudzakir (tokoh Muhammadiyah), dan beliau setuju. Pendiri HMI yang lain ialah Maisarah Hilal (cucu KHA. Dahlan) yang juga seorang aktifis di Nasyi'atul Aisyiyah.
Bila asumsi itu benar adanya, maka hubungan dekat itu selanjutnya sangat mempengaruhi perjalanan IMM, karena dengan demikian Muhammadiyah saat itu beranggapan bahwa pembinaan dan pengkaderan mahasiswa Muhammadiyah bisa dititipkan melalui HMI (Farid Fathoni, 1990: 94). Pengaruh hubungan dekat tersebut sangat besar bagi kelahiran IMM. Hal ini bisa dilihat dari perdebatan tentang kelahiran IMM. Pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal seringkali menganggap bahwa kelahiran IMM saat itu tidak diperlukan, karena sudah terwadahi dalam Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah, serta HMI yang sudah cukup eksis (dan mempunyai pandangan ideologis yang sama). Pimpinan Muhammadiyah pada saat itu lebih menganakemaskan HMI daripada IMM. Hal ini terlihat jelas dengan banyaknya pimpinan Muhammadiyah, baik secara pribadi maupun kelembagaan, yang memberikan dukungan pada aktivitas HMI. Di kalangan Pemuda Muhammadiyah juga terjadi perdebatan yang cukup sengit seputar kelahiran IMM. Perdebatan seputar kelahiran IMM tersebut cukup beralasan, karena sebagian pimpinan (baik di Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyi'atul Aisyiyah, serta amal-amal usaha Muhammadiyah) adalah kader-kader yang dibesarkan di HMI.
Setelah mengalami polemik yang cukup serius tentang gagasan untuk mendirikan IMM, maka pada tahun 1956 polemik tersebut mulai mengalami pengendapan. Tahun 1956 bisa disebut sebagai tahap awal bagi embrio operasional pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan gagasan penghimpun wadah mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98). Pertama, pada tahun itu (1956) Muham-madiyah secara formal membentuk kader terlembaga (yaitu BPK). Kedua, Muhammadiyah pada tahun itu telah bertekad untuk kembali pada identitasnya sebagai gerakan Islam dakwah amar ma'ruf nahi munkar (tiga tahun sesudahnya, 1959, dikukuhkan dengan melepas-kan diri dari komitmen politik dengan Masyumi, yang berarti bahwa Muhammadiyah tidak harus mengakui bahwa satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di Indonesia adalah HMI). Ketiga, perguruan tinggi Muham-madiyah telah banyak didirikan. Keempat, keputusan Muktamar Muhammadiyah bersamaan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956 di Palembang tentang "..... menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu mengembangkan amanah."
Baru pada tahun 1961 (menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta) diseleng-garakan Kongres Mahasiswa Universitas Muham-madiyah di Yogyakarta (saat itu, Muhammadiyah sudah mempunyai perguruan tinggi Muhammadiyah sebelas buah yang tersebar di berbagai kota). Pada saat itulah, gagasan untuk mendirikan IMM digulirkan sekuat-kuatnya. Keinginan tersebut ternyata tidak hanya dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah, tetapi juga dari kalangan mahasiswa di berbagai universitas non-Muhammadiyah. Keinginan kuat tersebut tercermin dari tindakan para tokoh Pemuda Muhammadiyah untuk melepaskan Departemen Kemahasiswaan di lingkungan Pemuda Muhammadiyah untuk berdiri sendiri. Oleh karena itu, lahirlah Lembaga Dakwah Muhammadiyah yang dikoordinasikan oleh Margono (UGM, Ir.), Sudibyo Markus (UGM, dr.), Rosyad Saleh (IAIN, Drs.), sedang-kan ide pembentukannya dari Djazman al-Kindi (UGM, Drs.).
Tahun 1963 dilakukan penjajagan untuk mendirikan wadah mahasiswa Muhammadiyah secara resmi oleh Lembaga Dakwah Muhammadiyah dengan disponsori oleh Djasman al-Kindi yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dengan demikian, Lembaga Dakwah Muhammadiyah (yang banyak dimotori oleh para mahasiswa Yogyakarta) inilah yang menjadi embrio lahirnya IMM dengan terbentuknya IMM Lokal Yogyakarta.
Tiga bulan setelah penjajagan tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah meresmikan berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada tanggal 29 Syawal 1384 Hijriyah atau 14 Maret 1964 Miladiyah. Penandatanganan Piagam Pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dilakukan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, yaitu KHA. Badawi. Resepsi peresmian IMM dilaksanakan di Gedung Dinoto Yogyakarta dengan penandatanganan ‘Enam Pene-gasan IMM' oleh KHA. Badawi, yaitu :
  1. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam
  2. Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM
  3. Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah
  4. Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi maha-siswa yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara
  5. Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amal adalah ilmiah
  6. Menegaskan bahwa amal IMM adalah lillahi ta'ala dan senantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat
Tujuan akhir kehadiran Ikatan Mahasiswa Muham-madiyah untuk pertama kalinya ialah membentuk akademisi Islam dalam rangka melaksanakan tujuan Muhammadiyah. Sedangkan aktifitas IMM pada awal kehadirannya yang paling menonjol ialah kegiatan keagamaan dan pengkaderan, sehingga seringkali IMM pada awal kelahirannya disebut sebagai Kelompok Pengajian Mahasiswa Yogya (Farid Fathoni, 1990: 102).
Adapun maksud didirikannya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa
  2. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
  3. Sebagai upaya menopang, melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah
  4. Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah
  5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, ummat, dan persyarikatan
Dengan berdirinya IMM Lokal Yogyakarta, maka berdiri pulalah IMM lokal di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Jember, Surakarta, Jakarta, Medan, Padang, Tuban, Sukabumi, Banjarmasin, dan lain-lain. Dengan demikian, mengingat semakin besarnya arus perkembangan IMM di hampir seluruh kota-kota universitas, maka dipandang perlu untuk meningkatkan IMM dari organisasi di tingkat lokal menjadi organisasi yang berskala nasional dan mempunyai struktur vertikal.

Atas prakarsa Pimpinan IMM Yogyakarta, maka bersamaan dengan Musyawarah IMM se-Daerah Yogyakarta pada tanggal 11 - 13 Desember 1964 diselenggarakan Musyawarah Nasional Pendahuluan IMM seluruh Indonesia yang dihadiri oleh hampir seluruh Pimpinan IMM Lokal dari berbagai kota. Musyawarah Nasional tersebut bertujuan untuk mempersiapkan kemungkinan diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada bulan April atau Mei 1965. Musyawarah Nasional Pendahuluan tersebut menyepakati penunjukan Pimpinan IMM Yogyakarta sebagai Dewan Pimpinan Pusat Sementara IMM (dengan Djazman al-Kindi sebagai Ketua dan Rosyad Saleh sebagai Sekretaris) sampai diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama di Solo. Dalam Musyawarah Pendahuluan tersebut juga disahkan asas IMM yang tersusun dalam ‘Enam Penegasan IMM', Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IMM, Gerak Arah IMM, serta berbagai konsep lainnya, termasuk lambang IMM, rancangan kerja, bentuk kegiatan, dan lain-lain.

Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah

Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
Cetak Kirim
Social List Bookmarking Widget

1. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
2. Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.


3. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
a. 'Aqidah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
b. Akhlak
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
c. Ibadah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
d. Muamalah Duniawiyah
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.

5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT:
"BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR"

(Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo)
Catatan:
Rumusan Matan tersebut telah mendapat perubahan dan perbaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah:
1. Atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta;
2. Disesuaikan dengan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta.

MALCOLM X (Tokoh Pembebasan Muslim)


Malcolm X (19 Mei 192521 Februari 1965) adalah tokoh Muslim dari kaum Afrika-Amerika yang ketokohannya dapat disandingkan dengan Dr. Martin Luther King yang berjuang menghapus segala macam diskriminasi lebih-lebih yang menimpa kaum Afrika-Amerika yang sering dikonotasikan dengan kaum negro yang terdiskriminasikan.
"Saya tahu masyarakat seringkali membunuh orang-orang yang berusaha mengubah mereka menjadi lebih baik. Jika saya mati dengan membawa cahaya bagi mereka dengan membawa kebenaran hakiki yang akan menghancurkan kanker rasisme yang menggerogoti tubuh Amerika Serikat (AS) semua itu terserah kepada Allah SWT. Sementara itu kesalahan atau kekhilafan dalam upaya saya itu semata-mata adalah dari saya sendiri". Demikianlah pesan terakhirnya dalam buku "Malcolm X", Sebuah Otobiografi yang ditulis oleh Alex Harley.
Malcolm X lahir pada tanggal 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska dengan nama asli Malcolm Little. ibunya bernama Louise Little dan ayahnya bernama Pendeta Earl, seorang pendeta baptis dan anggota UNIA (Universal Negro Improvement Association) yakni sebuah organisasi yang dirintis oleh Marcos Aurelius Garvey untuk mewadahi perbaikan hidup bagi orang orang negro.
Semasa kecilnya Malcolm dan keluarganya sering menjadi sasaran penembakan, pembakaran rumah pelecehan dan ancaman lantaran ayahnya adalah anggota UNIA yang militan, hingga semuanya memuncak saat ayahnya dibunuh kelompok rasis kulit putih ketika Malcolm berusia enam tahun.
Kehilangan ayahnya merubah kehidupannya sehingga menjadi anak yang liar. Sekolahnya terputus tatkala usianya mencapai 15 tahun. Selanjutnya jalanan dan germerlap dunia hitam yang membuatnya terjerumus dalam berbagai kehidupan antargank pencurian mariyuana narkotika minuman keras perjudian dan pelacuran baik selagi di kampungnya maupun setelah pindah ke Harlem (wilayah terkenal bagi orang Negro) di New York
Pada usia 20 tahun dia diajukan ke pengadilan atas kasus pencurian dan ditahan hingga berusian 27 tahun. Seperti layaknya narapidana lainnya, banyak keonaran yang dia lakukan di penjara namun dia suka menyendiri di balik kamar tahanannya.
Dia menemukan apa yang dinamakan pencerahan diri mulai dari membaca menulis di dalam penjara Chalestown State. Kemudian terjadi surat-menyurat antara Malcolm dan saudaranya Philbert serta diskusi dengan saudara kandungnya Hilda yang sering mengunjunginya selama dipenjara khususnya mengenai ajaran agama Islam tempat kedua saudaranya adalah pengikut Nation of Islam (NoI). Berawal dari sinilah dia mengenal NoI, masuk Islam dan mengadakan kontak melalui surat-menyurat dengan Mr Elijah Muhammad, pimpinan sekaligus tokoh yang dianggap sebagai utusan Allah oleh pengikut NoI. Berkat Elijah-lah ia memahami ketertindasan dan ketidakadilan yang menimpa ras hitam sepanjang sejarah. Sejak itulah Malcolm X menjadi seorang napi yang kutu buku mulai dari menekuni sastra, agama, bahasa, dan filsafat.
Pada hari pembebasannya Malcolm langsung pergi ke Detroit untuk bergabung dengan kegiatan NoI. Dengan bergabungnya Malcolm, NoI berkembang menjadi organisasi yang berskala nasional. Malcolm sendiri menjadi figur yang terkenal di dunia, mulai dari wawancara di televisi, majalah, dan pembicara di berbagai universitas dan serta forum lainnya. Kepopulerannya terbit berkat kata-katanya yang tegas dan kritis seputar kesulitan yang dialami kaum negro, diskriminasi, dan sikap kekerasan yang ditunjukkan kaum kulit putih terhadap kaummnya.
Namun sayangnya, NoI juga memberikan pandangan-pandangan yang bersikap rasis sehingga ia menolak bantuan apapun dari kalangan kulit putih yang benar-benar mendukung perjuangan antidiskriminasi. Bahkan selama 12 tahun Malcolm mendakwahkan bahwa orang kulit putih adalah iblis dan yang terhormat adalah Elijah Muhammad adalah utusan Allah.
Pandangan tersebut tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam sendiri yang tidak membedakan kehormatan dan kehinaan seseorang berdasarkan ras serta tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad SAW.
Pandangan rasis dari NoI membuat Malcolm kemudian menyadari bahwa hal tersebut sebagai sebuah ajaran yang tidak rahmatan lil alamin. Karena hal itu Ia pun keluar dari NoI dan berniat mendirikan organisasi sendiri, selain masalah internal NoI.
Bahkan Malcolm mengatakan, dirinya sering menerima teguran bahwa tuduhan white indicting yang dia lontarkan tidak memiliki dasar dalam perspektif Islam. Di antaranya yang memberikan teguran adalah justru dari kalangan Muslim Timur tengah atau Muslim Afrika Utara. Meski demikian mereka menganggap dia benar-benar memeluk Islam dan mengatakan jika dia berkesempatan mengenal Islam sejati pasti akan memahami ajarannya dan memegang teguh ajarannya.
Setelah melakukan perjalanan ibadah haji dia mendapatkan gambaran yang berbeda dari pandangannya selama ini, apalagi setelah melihat jamaah haji yang berkumpul dari belahan bumi, dari berbagai ras, bangsa dan warna kulit yang semua memuji Tuhan yang satu dan tidak saling membedakan
Beliau berkata, "Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri benar benar memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya." Kata-kata ini sebagai bukti bahwa dirinya mengubah pandangan dari memperjuangkan hak sipil orang negro ke gagasan internasionalisme dan humanisme Islam. Malcolm X pun berganti nama menjadi Haji Malik kemudian berkata:
"Perjalanan haji telah membuka cakrawala berpikir saya dengan menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci. Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua orang kulit putih namun saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu lagi karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro. Kebenaran Islam telah menunjukkan kepada saya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang putih adalah sikap yang salah seperti halnya jika sikap yang sama dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro".
Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964. Pada 21 Februari 1965, pada saat akan memberi ceramah di sebuah hotel di New York, Malcolm X tewas diujung peluru tiga orang Afrika-Amerika yang ironisnya dia perjuangkan nilai-nilai dan hak-haknya serta tidak ada yang tahu siapa dan apa di balik kematiannya. Kendati demikian, impian Malcolm X menyebarkan visi antirasisme dan nilai-nilai Islam yang humanis, menggugah kalangan Afro-Amerika dan dunia.

Rabu, 25 November 2009

Salam Pencerahan... 

 Bandeng Presto Discourse Community

Proudly Present:


Kajian Keilmuan 
dengan tema: 
"Islam Progresif"

 Pembicara: Mubarak Ahmad
 

Bertempat di: Bandeng Presto Centre
29 November 2009
Ba;da Magrib s/d Selesai